Dari Seminar
Awig-awig II yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Udayana tahun 2010,
disarankan empat tahapan yang dilalui untuk penyuratan awig-awig. Pertama,
persiapan. Kedua, penulisan rancangan awig-awig. Ketiga, sosialisasi rancangan
awig-awig. Keempat, penyelesaian penulisan awig-awig.
1.
Tahap persiapan, diawali dengan paruman desa dengan agenda
rencana revisi awig-awig. Jika disetujui krama, dilanjutkan dengan membentuk
Panitia Penulisan Awig-awig Bendesa adat, prajuru desa, perwakilan tokoh adat, tokoh agama, tokoh
pemuda, tokoh wanita, dan tokoh masyarakat. Panitia terbentuk wajib matur piuning di Pura
Kahyangan Desa sebelum memulai tugasnya. Selanjutnya mereka mulai membagi diri
menjadi panitia kerja yang masing-masing membahas Parhyangan, Palemahan, dan
Pawongan. Selain itu, panitia juga menyusun strategi penggalian dana serta
rencana kerja dan kalender kegiatan. Panitia juga bisa mencari imba (contoh)
awig-awig tertulis yang dikeluarkan pemerintah atau meminjam awig-awig desa
pakraman lain yang kondisinya mirip di desa setempat.
2. Di tahap kedua, mempelajari
awig-awig tertulis maupun tidak tertulis. Jika awig-awig tidak tertulis, perlu
dilakukan inventarisasi awig-awig tidak tertulis yang sebelumnya sudah berlaku.
Selanjutnya dicari poin-poin yang dirasakan masih cocok atau tidak dengan
kondisi terkini. Diskusi harus dilakukan secara mendalam untuk menyeleksi mana
bagian yang masih bisa dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan. Setelah
adanya kesepakatan, mulai dimasukkan dalam draf awal rancangan awig-awig. Bila
perlu, para ahli terkait bisa diundang untuk memberikan pencerahan dalam
penyusunan draf ini.
Panitia juga perlu mengadakan koordinasi dengan Bagian Hukum di
Pemerintah Kabupaten/Kota serta Majelis Desa Pakraman sesuai jenjangnya
(Majelis Alit Desa Pakraman di kecamatan dan Majelis Madya Desa Pakraman di
Kabupaten/Kota). Koordinasi ini bertujuan mengonsultasikan draf awal rancangan
awig-awig untuk mendapatkan masukan dan pengarahan.
3. Tahap ketiga, setelah Panitia selesai merumuskan draf awal
rancangan awigawig, draf ini disosialisasikan ke krama desa untuk mendapatkan
masukan. Cara sosialisasi bisa melalui paruman atau sangkep. Masukan-masukan
baru diolah oleh panitia. Jika sudah disetujui oleh rapat panitia penulisan
awig-awig, draf awal ini dapat ditetapkan menjadi draf akhir rancangan
awig-awig desa pakraman.
4. Tahap keempat berupa penyelesaian penulisan awig-awig yang
ditandai dengan meminta persetujuan krama terkait rancangan awig-awig tertulis.
Langkah yang harus ditempuh mulai dari mengumumkan isi rancangan awig-awig
kepada krama desa. Jika disetujui oleh krama desa, awig-awig bisa
ditandatangani oleh Bendesa disaksikan Bendesa Alit Majelis Desa Pakraman
Kecamatan dan Bendesa Madya Majelis Desa Pakraman Kabupaten/Kota. Panitia dapat
menuliskan awig-awig yang sudah disetujui krama desa ini dalam aksara Bali dan
aksara Latin.
Proses berikutnya adalah penandatanganan oleh Bupati/Wali Kota
sebagai wujud pengakuan dan penghormatan negara terhadap awig-awig. Posisi
Bupati/Wali Kota adalah sebagai murdaning pamikukuh yang bermakna awig-awig
dikukuhkan oleh negara. Selanjutnya pengukuhan awig-awig secara niskala dengan
mencari hari baik (dewasa ayu) yang disebut pasupati atau pemelaspasan
awig-awig. Pasupati ini tidak berarti awig-awig sebagai benda keramat yang tidak
boleh diubah atau tidak boleh dibaca. Setelah semua proses ini selesai, panitia
penulisan awig-awig dapat dibubarkan.
Awig-awig yang baik adalah awig-awig yang dari awal pembuatannya
sudah melibatkan krama sehingga semua menjadi paham apa saja yang diatur dalam
awig-awig tersebut. Namun, dalam kenyataannya penerapan awig-awig sering
menimbulkan konflik adat. Hal ini terjadi karena rumusan awig-awig tidak jelas
atau prajuru atau krama tidak memahami isi awig-awig.
Agar penerapan awig-awig dapat berjalan sesuai dengan pamikukuh
dan petitis, prajuru dan krama sama-sama harus memahami keseluruhan isi
awig-awig. Awig-awig bukanlah benda keramat yang tidak boleh dibuka. Krama
harus memiliki salinan awig-awig untuk dijadikan pedoman selama berada di desa
pakraman. Selain itu, sosialisasi awig-awig harus terus dilakukan, baik melalui
sangkepan ataupun pertemuan lainnya.
Dari rekomendasi yang dihasilkan dalam Seminar Awig-awig II yang
diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Udayana tahun 2010 disebutkan perlunya
penyempurnaan awig-awig dalam perumusan normanya, perlu adanya pembuatan naskah
akademik awig-awig.
Sebelum awig-awig didaftarkan ke kantor Bupati, MDP perlu
mengedit isi awig-awig. Dalam menyelesaikan konflik adat, MDP berwenang sebagai
mediator dan memberi penyelesaian secara damai. Apabila tidak berhasil,
persoalan diajukan kepada Bupati untuk ditangani lebih lanjut sesuai dengan
wewenang Bupati sebagai pemegang otonomi. Di sisi lain, pemerintah daerah perlu
melakukan sinkronisasi dan integrasi kebijakan, program, dan kegiatan dengan
masyarakat desa pakraman terkait masalah parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Awig-awig desa pakraman sebagai acuan dan pedoman bagi
masyarakat dengan jelas menyebutkan ajaran agama Hindu dan Tri Hita Karana sebagai
dasar. Artinya semua komponen masyarakat desa pakraman dalam bersikap dan
bertindak harus mengacu kepada konsep keseimbangan seperti yang disebutkan
dalam ajaran Tri Hita Karana, keseimbangan antara manusia dengan Tuhan
(bhakti), manusia dengan manusia (tresna), dan manusia dengan lingkungan. Konsep THK dan ajaran agama Hindu
seperti Tat Twam Asi hendaknya dipegang oleh krama dalam menjalankan pergaulan
hidup. Apalagi, penjabaran konsep-konsep ini sudah dituangkan ke dalam
awig-awig yang menjadi penuntun kehidupan masyarakat sesuai tujuan yang ingin
dicapai dan dicantumkan dalam awig-awig.
No comments:
Post a Comment